PEMBAHASAN
1.
Reorientasi
pengembangan profesi guru
Dalam telaah hasil penelitian
tentang efektivitas keberhasilan guru dalam menjalankan tugas kependidikannya,
Medley menemukan beberapa asumsi keberhasilan guru yang pada gilirannya
dijadikan titik tolak dalam pengembangannya, yaitu: Pertama, asumsi sukses guru
tergantung pada kepribadiannya. Kedua, asumsi sukses guru tergantung pada
penguasaan metode. Ketiga, asumsi sukses guru tergantung pada frekuensi dan
intensitas aktivitas guru dengan siswa. Dan keempat, asumsi bahwa apapun dasar
dan alasannya penampilan gurulah yang terpenting sebagai tanda memiliki
wawasan, ada indikator menguasai materi, ada indikator menguasai strategi
belajar mengajar, dan lain sebagainya. Asumsi yang keempat ini memang lebih
komprehensif, sehingga dijadikan titik tolak dalam pengembangan guru, yang biasa
disebut dengan PTKBK (Pendidikan Tenaga Kependidikan Berbasis Kompetensi) atau
CBTE (Competency based Teacher Education).[1]
Dalam konteks pengembangan guru di
masa depan, diperlukan secara cermat terhadap fenomena sosial dan kultural yang
sedang aktual pada masa sekarang yang nota bene juga merupakan bagian dari
proses dan produk pendidikan. Mengingat pada saat ini masih banyak orang yang
cerdas, terampil, pintar, kreatif, produktif dan profesional, tetapi tidak
dibarengi dengan kekokohan akidah dan kedalaman spiritual serta keunggulan
akhlak.
Implikasi lebih jauh adalah
munculnya gaya hidup (life style) yang cenderung bersikap sekuler,
materialistik, rasionalistik, hedonistik, yaitu manusia yang cerdas
intelektualitasnya dan terampil fisiknya, namun kurang terbina mental
spiritualnya dan kurang memiliki kecerdasan emosional. Orientasi hidup tersebut
menjadi karakter masyarakat modern yang pada akhirnya melahirkan kesenjangan
sosial yang berkepanjangan. Akibat dari yang demikian, banyak sekali para remaja
yang terlibat dalam tawuran, tindakan kriminal, pencurian, penyalahgunaan
obat-obat terlarang, pemerkosaan dan sebagainya.[2]
Timbulnya fenomena tersebut memang
tidak arif jika hanya semata-mata dikembalikan pada proses dan produk
pendidikan kita. Namun demikian, "sistem pendidikan kita yang “keliru”
merupakan bagian dari independent variables yang ikut memiliki kontribusi
terhadap munculnya fenomena tersebut. Sistem pendidikan yang berlangsung selama
ini lebih banyak menekankan dimensi transfer ilmu pengetahuan. Sedangkan aspek
internalisasi dan implementasi belum banyak tergarap untuk membangun suasana
masyarakat yang memiliki the bound of civility (ikatan keadaban atau tata
krama) yang merupakan ciri masyarakat madani. Sistem pendidikan kita juga lebih
menekankan peningkatan kualitas individu secara optimal dan mampu berkompetisi
dengan yang lain, tetapi nilai-nilai kooperatif dan kolaboratif sebagai
karakteristik dari masyarakat patembayan (gemeinschaft) sudah mulai
ditinggalkan.
Karena itulah, diperlukan
reorientasi pengembangan guru yang bertolak dari fenomena di atas dan falsafah
pendidikan yang komitmen pada pelestarian nilai-nilai insani dan ilahi, yang
dibarengi dengan sikap dinamis, kritis, progresif, terbuka, bahkan bersikap
proaktif dan antisipatif, tetapi juga mengembangkan nilai-nilai kooperatif dan
kolaboratif, toleran, serta komitmen pada hak dan kewajiban asasi manusia.
Dalam rangka reorientasi tersebut,
maka dibutuhkan model pengembangan profesionalisme guru.
2.
Model
pengembangan guru
Banyak cara yang dilakukan oleh guru untuk
menyesuaikan dengan perubahan, baik itu secara perorangan , kelompok atau dalam
satu sistem yang diatur oleh lembaga. Mulyasa menyebutkan bahwa pengembangan
guru dapat dilakukan dengan cara on the job training dan in service training. Sementara Castetter
menyampaikan lima model pengembangan untuk guru seperti pada tabel
berikut.
Model
Pengembangan Guru
|
Keterangan
|
Individual
Guided Staff Developmen (Pengembangan
Guru yang dipadu secara Individual)
|
Para guru
dapat menilai kebutuhan belajar mereka dan mampu belajar aktif serta
mengarahkan diri sendiri. Para guru harus dimotivasi saat menyeleksi tujuan
belajar berdasar penilaian personil dari kebutuhan mereka.
|
Observation/Assessment
(Observasi
atau Penilaian)
|
Observasi
dan penilaian dari instruksi menyediakan guru dengan data yang dapat
direfleksikan dan dianalisis untuk tujuan peningkatan belajar siswa. Refleksi
oleh guru pada prakteknya dapat ditingkatkan oleh observasi lainnya.
|
Involvement
in a development/ Improvement Process
(keterlibatan
dalam Suatu Proses Pengembangan/Peningkatan)
|
Pembelajaran
orang dewasa lebih efektif ketika mereka perlu untuk mengetahui atau perlu
memecahkan suatu masalah. Guru perlu untuk memperoleh pengetahuan atau
keterampilan melalui keterlibatan pada proses peningkatan sekolah atau
pengembangan kurikulum.
|
Training(Pelatihan)
|
Ada
teknik-teknik dan perilaku-perilaku yang pantas untuk ditiru guru dalam
kelas. Guru-guru dapat merubah perilaku mereka dan belajar meniru perilaku
dalam kelas mereka.
|
Inquiry(Pemeriksaan)
|
Pengembangan
profesional adalah studi kerjasama oleh para guru sendiri untuk permasalahan
dan isu yang timbul dari usaha untuk membuat praktek mereka konsisten dengan
nilai-nilai bidang pendidikan.[3]
|
3.
Strategi
pengembangan profesionalisme guru
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah Dapertemen Pendidikan Nasional (2005) menyebutkan beberapa
alternatif Program Pengembangan profesionalisme guru, sebagai berikut :
Ø Program peningkatan kualifikasi pendidikan guru.
Sesuai
dengan peraturan yang berlaku bahwa kualifikasi pendidikan guru adalah minimal
S1 dari program keguruan, maka masih ada guru-guru yang belum memenuhi
ketentuan tersebut. Oleh karenanya program ini diperuntukkan bagi guru yang
belum memiliki kualifikasi pendidikan minimal S1 untuk mengikuti pendidikan S1
atau S2 pendidikan keguruan. Program ini berupa program kelanjutan studi dalam bentuk
tugas belajar.
Ø Program penyetaraan dan sertifikasi
Program
ini diperuntukkan bagi guru yang mengajar tidak sesuai dengan
latar belakang pendidikannya atau bukan berasal dari program pendidikan keguruan. Hal ini terjadi karena
sekolah mengalami keterbatasan atau kelebihan guru mata pelaajaran tertentu.
Sering terjadi kualifikasi pendidikan mereka lebih tinggi dari kualifikasi yang
dituntut namun tidak sesuai, misalnya berijazah S1 tetapi bukan kependidikan.
Mereka dapat mengikuti program penyetaraan atau sertifikasi.
Ø Program supervisi pendidikan
Dalam praktik pembelajarn di kelas masih
sering ditemui guru-guru yang ditingkatkan profesionalismenya dalam proses
belajar mengajarnya. Sering ada persepsi yang salah atau kurang tepat di mana tugas
supervisor sering dimaknai sebagai tugas untuk mencari kesalahan atau untuk mengadili
guru, padahal tujuannya untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses
belajar mengajar. Ciri utama supervisi adalah perubahan dalam kearah yang lebih
baik, positif proses belajar mengajar lebih efektif dan efisien.[4]
Ø Program Pemberdayaan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran)
MGMP
adalah suatu forum atau wadah kegiatan profesional guru mata pelajaran sejenis
disanggar maupun di masing-masing sekolah yang terdiri dari dua unsur yaitu
musyawarah dan guru mata pelajaran. Guru
mata pelajaran adalah guru SMP/MTs dan SMA/MA yang mengasuh dan bertanggung
jawab dalam mengelola mata pelajaran yang ditetapkan dalam kurikulum.
Guru
bertugas mengimplementasikan kurikulum di kelas. Dalam hal ini dituntut
kerjasama yang optimal diantara para guru. Dengan MGMP diharapkan akan
meningkatkan profesionalisme guru dalam
melaksanakan pembelajaran yang bermutu
sesuai kebutuhan peserta didik. Wadah profesi ini sangat diperlukan dalam
memberikan kontribusi pada peningkatan keprofesionalan para anggotanya.
Ø Simposium guru
Selain MGMP ada forum lain yang
dapat digunakan sebagai wadah untuk saling berbagi pengalaman dan pemecahan
masalah yang terjadi dalam proses
pembelajaran yaitu simposium. Melalui forum simposium guru ini diharapkan para
guru menyebarluaskan upaya-upaya kreatif dalam pemecahan masalah. Forum ini
selain sebagai media untuk sharing pengalaman, juga berfungsi untuk kompetisi antar guru, dengan menampilkan guru-guru yang
berprestasi dalam berbagai bidang, misalnya dalam pengunaan metode
pembelajaran, hasil penelitian tindakan kelas atau penulisan karya ilmiah.
Ø Program pelatihan tradisional
Pelatihan
ini pada umumnya mengacu pada satu aspek khusus yang sifatnya aktual dan penting
untuk diketahui oleh para guru, misalnya: CTL, KTSP, Penelitian tindakan kelas,
penulisan karya llmiah, dan lain sebagainya.
Ø Membaca dan menulis jurnal atau karya ilmiah
Dengan
membaca dan memahami isi jurnal atau makalah ilmiah lainnya dalam bidang pendidikan
guru dapat mengembangkan profesionalismenya. Selanjutnya dengan meningkatnya pengetahuan
seiring dengan bertambahnya pengalaman, guru diharapkan dapat membangun konsep baru,
keterampilan khusus dan alat/media belajar yang dapat memberikan kontribusi dalam
melaksanakan tugasnya.
Ø Berpartisipasi dalam pertemuan ilmiah
Partisipasi guru minimal pada kegiatan
konferensi atau pertemuan ilmiah setiap tahun akan memberikan kontribusi yang
berharga dalam membangun profesionalisme guru dalam melaksanakan tanggung jawabnya.
Penyampaian makalah utama, kegiatan diskusi kelompok kecil, pameran ilmiah,
pertemuan informal untuk bertukar pikiran atau ide-ide baru, dan sebagainya saling
berintegrasi untuk memberikan kesempatan pada guru untuk tumbuh sebagai seorang
profesional.
[1] Muhaimin, Reorientasi
Pengembangan Guru dalam Ed. Mudjia Rahardjo, Quo Vadis Pendidikan Islam,
Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan, (Malang: UIN
Malang Press, 2006), hlm.105.
[2] Abuddin Nata, Manajemen
Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2003), hlm.231. Lihat juga
Mudzaffar Akhwan, “Pendidikan Moral Keagamaan Anak dalam Masyarakat,
Mempertegas Fenomena Pesantren Kilat dalam Pendidikan Islam”, dalam Pendidikan
Islam dalam Peradaban Industrial, ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan AZ
(Yogyakarta: Aditya Media,1997), hlm.71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar